Wednesday, February 17, 2010

Dreams#5

Kulihat ia ada di sini. Sedang apa ia di sini? Ini mimpiku, ini
istirahatku, ini tempat suci bagi diriku sendiri. Bukannya tidak
boleh, tapi aku tak mengharapkan ada orang selain diriku sendiri, di
sini, di mimpiku ini.

Ia hanya berdiri di sana, di kejauhan dengan mata memandang jauh
menembus cakrawala. Sementara angin berhembus lembut menebarkan
harum wangi tubuhnya, semerbak ke seluruh penjuru mimpi ini.
Membelai rambutnya yang hitam kemilauan. Mengibarkan pakaian serba
putih yang ia pakai. Putih dan lembut, seputih dan selembut awan di
angkasa pada hari yang cerah. Membuatnya bersinar sendiri, di antara
hijaunya padang rumput di mimpi ini.

Aku hampiri dia, menembus rerumputan tinggi yang mengekangku dari
langkah yang lebih cepat. Ia hanya berdiri saja, tak beranjak. Ia
bentangkan tangannya jauh-jauh seolah ingin terbang bersama angin
yang bertiup. Ia berangan ia seberat segenggam kapas yang cukup
ringan untuk terombang-ambing dalam hembusan angin dengan mudahnya.

Angin itu melukiskan garis-garis jingga saat tersentuh kulitnya,
itulah warna harum tubuhnya. Garis-garis jingga yang mengalir pasti,
senada dengan langit yang biru pekat. Biru itu lebih pekat dari
birunya lautan dan angkasa, atau biru manapun di alam nyata. Di
antara biru itu ada aliran garis garis putih, meliuk, memutar,
seperti aliran magma yang berwarna biru. Di bawah kakinya, padang
rumput setinggi lutut, hijau tua. Di bawah cakrawala tak ada warna
selain hijau tua, tak ada tanah kotor ke coklatan yang menodai, atau
satu buah pun abu-abu dari batu yang memecah hijau itu. Tak ada
putihnya kayu tumbang yang memutih seiring waktu berjalan. Tak ada
pohon yang hijau berlumutan berdiri di antara hijaunya padang
rumput. Tak ada hitamnya kumbang, hijaunya belalang, kuningnya
lebah, ataupun merahnya kepik di antara rerumputan, walau sekeras
apapun kau mencari mereka. Tak ada beningnya sungai-sungai kecil dan
mata air. Hanya ada putih bersih dan bersinar dari pakaian dan
kulitnya yang halus.

Sesampainya aku di dekatnya, aku berhenti. Aku berdiri dan mencoba
melihat apa itu yang ia lihat. Hanyalah padang rumput luas yang
kosong, sejauh mata memandang. Apa yang ia lihat? Apakah ia hanya
menatap ke rerumputan itu? Apakah ia mencoba menghitung jumlah
mereka satu-persatu? Apakah ia melihat sesuatu di balik rerumputan
itu? Apakah ia mampu melihat dan menangkap arti dari mimpi ini?

Ia lalu berbalik ke arahku dan tersenyum. Dan aku pun merasa sebuah
keanehan, sesuatu yang lama tidak aku rasakan. Ada rasa saling
mengenal saat ku tatap senyuman itu. Aku serasa telah mengenal
senyuman itu seumur hidupku. Senyuman yang berkata semua kata yang
ingin kau dengar dan semua yang ingin kau ucapkan. Ku balas dengan
senyumanku sendiri, walaupun senyumanku tak bisa berbicara banyak,
sebanyak senyumannya. Aku tak bisa membalas dengan senyuman yang
sama. Dan ia pun berkata.

"Ini mimpimu?"

Aku hanya tersenyum tersipu. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku
tidak tahu kemana arah pertanyaan itu. Apakah ia bertanya penuh
dengan decak kagum, ataukah ia bertanya mencemooh penuh rasa kecewa,
hanya ini saja mimpiku. Ataukah ia hanya sekedar bertanya, tanpa
memperdulikan jawaban apa yang akan ku beri nanti.

"Bagus juga!" katanya

"Apa bagusnya mimpiku ini? Hanya padang rumput yang kosong."
Jawabku merendah, aku tidak tahu apakah ia sanggup merasakan apa
yang aku rasakan setiap ku masuk ke dalam mimpi ini. Mimpiku memang
sederhana sekali, namun seperti itulah yang aku suka. Beda sekali
dari kenyataan yang mengandung banyak sekali topeng dan lapisan.

"Sudah lama kau di sini?"

"Yah, lumayan. Setiap malam aku selalu ke sini. Tidak tahu pasti
kapan aku mulai memimpikan tempat ini."

Dia melirik ke bawah, mendengarkan jawabanku yang singkat itu.
Tangan itu terus membentang jauh, tanpa sedikitpun tanda mereka akan
diturunkan kembali oleh rasa letih. Ia menatap terus ke bawah,
terpana pada aliran angin yang bergerak di sela rerumputan tinggi.

"Kau suka terbang, ya?" Kataku. Ia tersenyum kecil sambil melirik
sebentar ke arahku, dan ia kembali mengawasi tingkah laku angin dan
rerumputan yang bergoyang.

"Tidak, aku belum bisa." Katanya sedikit malu.

"Suka tempat ini?" kataku lagi.

Ia langsung menatapku tanpa senyum, menatap tajam ke mataku, sembari
ia turunkan tangan itu kembali ke sampingnya. Aku mulai khawatir ia
tersinggung oleh ucapanku. Aku takut ia punya anggapan yang salah.
Aku takut ia menganggap kehadiran dirinya mengganggu mimpiku. Tapi
bukan itu maksudku, aku sungguh tak bermaksud apa-apa. Duh, ingin ku
cabut lidah yang pernah mengucap kata-kata bodoh itu dari
tengkorakku.

Ia terdiam, lama memikirkan jawaban, pertanyaanku. Apakah ia suka
pada mimpiku ini atau tidak. Ia mencari jawabannya di seluruh
penjuru mimipi ini. Ia mencari jawabannya di rumput tinggi yang
bergoyang, di angin yang membawa semerbak harum tubuhnya, bagaimana
wangi tubuh mempunyai warna jingga, bagaimana pekatnya biru langit,
dan di awan yang hanyalah garis garis putih seperti aliran lava
berwarna biru. Ia cari di dalam sinar cahaya putih dari pakaian dan
tubuhnya. Dan ia cari dalam pakaianku yang serba kehitaman.

"Di sini badanku terasa enteng sekali. Saking entengnya, aku percaya
aku dapat diterbangkan bersama angin."

Aku tersenyum lebar sambil ku masukkan tanganku ke dalam saku celana
jeans hitamku ini. Aku senang ia suka tempat ini. Dan terlebih lagi,
aku senang ia suka tempat ini untuk alasan yang sama denganku. Aku
juga suka bagaimana tempat ini membuatku merasa ringan. Terutama
bagaimana otakku menjadi ringan karena tempat ini. Lalu ku jelaskan
mengapa.

"Di tempat ini, tak ada masa depan dan masa lalu. Tidak ada masa
depan untuk dirisaukan, dan tak ada masa lalu untuk diingat kembali.
Karena itu kau merasa enteng."

Dan ia mengangkat tangannya tinggi menembus udara, seperti ingin
memegang udara. Menggenggam suasana di dalam tangannya. Seolah
kebahagiaan adalah sesuatu yang berwujud yang dapat dipeluk dan
dicium.

"Seperti rumah." Katanya

"Rumah?" kataku penuh tanda tanya

"Ya, rumah. Nyaman sekali. Aku serasa di rumah. Di rumah kau bisa
aman. Tak peduli masa depan dan masa lalu. Semua orang mencintaimu
walau apapun."

Ku hanya terdiam saja. Ku tak tahu harus berkata apa, bahkan aku tak
tahu harus berfikir apa.

"Kau mau melihat mimpiku?"

Lalu dia pun menawarkan tangannya. Tanpa banyak berfikir lagi, ku
genggam tangannya itu. Dan ia pun memejamkan matanya, dan aku pun
segera berlaku sama. Dan begitu ku buka mataku kami berdua sudah
berada di dalam laut. Aku sedikit panik, paru-paruku berteriak
meminta udara. Ku lihat ia tenang saja, dan genggaman tangannya
semakin erat. Lalu ia pun membuka matanya. Ia melihat mukaku yang
mengernyit mencoba menahan nafas. Lalu ia membuka mulutnya, dan tak
lama keluarlah gelembung udara dari mulut itu. Semua udara yang ada
di tubuhnya keluar dari mulut itu hingga tidak satu nafas pun yang
tersisa. Ia lalu tersenyum ke arahku. Sebuah senyum memintaku untuk
berlaku sama.

Dan aku keluarkan pula semua udara di tubuhku. Dan tiba-tiba saja
aku menjadi makhluk air. Aku tidak lagi merasakan basah kuyub, air
menjadi suatu hal yang tidak untuk dirisaukan, apalagi ditakuti.
Udara bukanlah sesuatu yang aku butuhkan, aku tak perlukan lagi paru-
paru. Aku tidak perlu lagi merasa takut akan polusi, atau kuman di
udara. Di mimpinya tak ada alasan lagi untuk takut. Di mimpinya tak
ada alasan lagi untuk bernafas. Tidak masuk akal. Manusia bukan
makhluk air, manusia perlu bernafas. Tapi itulah mimpi. Di mimpinya
tak ada alasan lagi untuk berakal.

Aku tidak lagi merasakan dingin, justru hangat. Hangat seperti
hangatnya sebuah pelukan. Di dalam air aku merasa melayang, tidak
ada gravitasi. Aku tidak perlu lagi berjalan. Lagi pula mau kemana?
Tak ada alasan untuk kemana-mana. Ke bawah adalah air, ke kanan air,
ke kiri air, ke depan dan ke belakang juga air. Dan bahkan ke atas
adalah air, walau sejauh apapun usaha mu untuk naik ke atas, ke
permukaan, menuju satu-satunya cahaya yang ada, kau tidak akan
menemukannya. Karena tak ada alasan kau ke atas sana dan bernafas
lagi. Ini sudah cukup bagiku dan dia.

Ia mengajakku berenang, maju entah kemana. Kemana, siapa peduli?
Kenapa, siapa peduli? Hanya ada kami berdua tidak ada ikan, tak ada
karang, bahkan tak ada ombak dan arus. Gelap dan sunyi. Sinar
mentari menembus air yang jernih, lebih jernih dari kolam dan laut
yang penuh plankton dan sisa-sisa kulit mati ikan. Sinar itu beriak
kalau mereka mau, namun jarang sekali. Di atas sana laut tenang dan
hening. Suatu hal yang mustahil terjadi di luar mimpi.

Sunyi sekali, aku akan suka kalau ada sedikit suara. Sedikit saja.
Tiba-tiba tanpa pertanda suatu apa, sebuah ikan paus lewat di
samping kami berdua dan mengahantarkan salam dalam bahasanya
sendiri. Lalu cahaya matahari beriak dan sekelompok ikan kecil
berenang dalam suatu kerumunan yang pejal, lalu mereka memecahkan
kerumunan itu hanya untuk kembali ke kerumunan yang pejal kembali.
Mereka lakukan itu berkali-kali sembari berenang mengitari kami.
Kenapa, siapa peduli? Tiba tiba, laut itu terang benderang dan kau
bisa melihat semua kehidupan di sana, lalu dua detik kemudian laut
itu gelap, dan tak berpenghuni. Kenapa, siapa peduli?

Lalu tiba-tiba saja kami berhenti. Tanpa alasan yang pasti ia
berhenti, dan aku juga berhenti. Lalu ia genggam kedua tanganku.
Kenapa, siapa peduli? Lalu akupun mengerti mimpinya ini. Di mimpi
ini tidak alasan. Tidak alasan untuk bernafas, untuk logika, untuk
berakal, untuk bersuara, untuk mengerti dan memahami. Segala sesuatu
terjadi begitu saja. Kenapa, siapa peduli? Tak ada alasan di
mimpinya ini, dan aku merasa sangat nyaman di sini. Kenapa aku
merasa seperti itu di saat semua tiada yang pasti, siapa peduli?

Dreams #4

Aku mengapung di udara, dan entah kekuatan apa yang diberikan
kepadaku tapi aku melayang-layang di udara. Tetapi anugerah terbang
itu tidak diberikan kepadaku sepenuhnya. Aku hanya dapat mengapung
dan mengapung, menyerah pada angin untuk berhembus dan
menggerakkanku kemanapun yang ia suka. Aku bagaikan sehelai bulu
yang terbang ditiup angin, melayang-layang di udara. Namun bulu tak
ada apa-apanya dibandingkan ringannya tubuhku. Bulu masih sesekali
dapat jatuh ke tanah akibat gravitasi bumi. Sedangkan aku hanya
mampu melayang-layang tidak bersatu dengan bayanganku sendiri,
sementara mungkin orang lain yang masih terikat dengan bayangannya
melihat iri ke arahku.

Aku melihat ke atasku burung-burung berterbangan dengan bebasnya di
angkasa. Meliuk-liuk dalam formasi agar mereka dapat lebih aman dari
pemangsa. Di depan selalulah burung yang paling kuat, karena
tenaganya diperlukan untuk memecah udara di depannya. Sementara di
samping kanan-kirinya, di pinggir formasi itu adalah burung yang
kuat lainnya. Dan yang paling lemah, yaitu anak-anak dan burung
lansia, terbang di tengah berlindung di dalam lingkaran burung-burng
kuat itu.

Ada burung elang yang sedang kelaparan, ia mengintai burung yang
paling gemuk, selain yang paling lezat ia juga yang paling lemah,
karena lemak-lemak di tubuhnya menghalanginya untuk bergerak segesit
teman-temannya. Elang itu mengawasi dari kejauhan, bergelayutan
memutari formasi itu dengan bantuan angin panas yang membantunya
menghemat energi dengan tidak mengepakkan sayapnya. Saat elang itu
merasa saat sudah tepat di menukik tajam menuju sasaran, dan sekejap
formasi itu berubah, dan bagi mata yang tak terlatih melihat burung,
seolah bergerak secara acak dan kacau. Namun perubahan formasi itu
sudah teroganisir, dan sanggup membuat elang itu kehilangan fokus di
saat begitu banyak sayap yang berkelebatan di depan dua mata tajam
itu. Walhasil si elang pulang ke sangkar dengan tangan hampa.

Namun ku merasa iri pada burung-burung itu. Mereka bebas terbang
kemana saja. Walaupun burung migrasi seperti mereka harus mengalah
pada perubahan musim dan suhu. Dan akan selalu ada burung-burung
pemangsa lainnya yang ditemui selama perjalanan pergi maupun pulang.
Aku juga iri pada manusia-manusia di bawahku, mereka bebas bepergian
kemana saja, melakukan apa yang baik untuk mereka maupun
masyarakatnya. Tidak seperti aku yang hanya sanggup melayang dan
melayang, menyerah pada kuasa angin yang berhembus.

Angin membawaku ke sebuah desa. Dan aku mengapung, tak lebih tinggi
dari atap gereja. Kulihat ada keramaian di sana. Di alun-alun mereka
berpesta-pora, dan bersuka cita. Mereka menari bergandeng tangan
membentuk lingkaran. Tua dan muda, lelaki dan perempuan, menari
berputar searah jarum jam, dan terus berputar dan berhenti sesekali,
hanya untuk menari di tempat. Lalu mereka berputar kembali, kali ini
melawan arah jarum jam.

Para musisi mengiringi mereka dengan instrumen dari segala jenis.
Ada alat perkusi seperti drum dan simbal. Ada pula alat gesek
seperti biola dan viola. Ada pula alat tiup brass seperti trompet
dan trombon maupun, wind seperti flut dan klarinet. Ada pula alat
pencet seperti piano. Dan ada pula alat petik seperti banjo dan
kontra bass. Mereka semua mengenakan pakaian semeriah pestanya itu
sendiri. Di tengah mereka ada pria tambun berjanggut putih dengan
pakaiannya yang serba hijau sedang memegang perut sementara satunya
lagi memegang segelas bir yang dingin. Ia pun tertawa terbahak-bahak
dalam kegembiraan saat ia melihat semua orang di kota itu menari,
tertawa gembira.

Musik itu pun habis dan semua orang pun bertepuk tanagn dengan
gembira. Dengan nafas yang terengah-engah mereka sudahi tarian
mereka. Semua orang tertawa riang gembira, saat lingkaran itu itu
berubah menjadi lautan manusia nyaris tak beraturan, kalau saja
mereka semua tidak menghadap ke arah panggung. Pria berjanggut
mengucap beberapa patah kata, dengan jiwa yang berapi-api, layaknya
seorang pemimpin desa.

Kata-kata itu langsung berhenti mengalir, seolah seseorang telah
menutup rapat keran suara di kerongkongannya. Ekspresinya langsung
berubah saat ia melihatku melayang-layang di sana bagaikan udara
yang tidak bermassa. Raut muka itu takjub dan terlihat semakun jelas
oleh kerutan-kerutan yang mengisyaratkan kebijaksanaan. Mata yang
sama hijau dengan pakaiannya itu terbelak penuh tanya, dan mulut
yang terkepung oleh rambut-rambut halus, putih dan panjang itu
seolah jatuh menganga. Ia menyaksikan sebuah keajaiban alam, seorang
pria yang sedang melayang.

Dan semua orang pun ikut menoleh ke arah yang sama. Dan mendadak
semua orang menjadi bisu, tak bersuara walau sedikit. Mereka lalu
bersama sama berjalan ke arahku tanpa sedikit pun beralih pandang,
tanpa sedikit pun bersuara. Lalu pecah juga hening itu dengan
mengucap rasa decak kagum mereka.

"Luar biasa!" kata seorang pemuda

"Menakjubkan!" kata seorang ibu

"Fantastis" kata seorang anak kecil, lalu disambut lagi dengan
kata "Ajaib!" dan "Spektakuler!" dan kata-kata pujaan lainnya.

"Mungkin ia seorang malaikat." Kata seorang diantara mereka

"Bukan...Bukan! Ia seorang nabi." Sahut yang lain

"Tidak ia seorang alien." Lalu disanggah dengan yang lain "Tidak ia
seorang penyihir."

Dan mulai seluruh kota itu gaduh, mempermasalahkan identitas diriku.
Mungkin dipicu oleh kebodohan mereka, mungkin juga ini histeria
masal, mungkin juga pengaruh alkohol yang mereka minum. Namun friksi-
friksi tadi menyulut api yang menyebar seperti kebakaran hutan. Muka
mereka merah terbakar amarah, dan suara mereka mulai meninggi.
Suasana pun menjadi gaduh dan tidak terkendali, memperdebatkan
identitasku.

Aku coba menghentikan mereka pertengkaran yang terjadi. Aku tak
ingin keceriaan yang tadi ada berubah menjadi pertengkaran, apalagi
perkelahian. Lagipula aku bukanlah siapa-siapa, apalagi seperti yang
mereka sebut. Aku bukan malaikat, tapi juga bukan penyihir. Aku
bukan nabi, tapi juga bukan alien. Aku hanyalah manusia biasa yang
kebetulan melayang-layang di angkasa.

Aku berteriak sekuat tenaga melerai mereka. Namun suaraku terlalu
lemah sampai di kuping mereka. Ketinggian ini penyebab semuanya, aku
tak cukup kuat berteriak untuk mereka dengar, apalagi di tengah
suasana gaduh yang kini menjadi semakin kacau.

Dan di tengah kekacauan yang terjadi. Ada angin kuat meniupku
menerbangkan aku menjauhi mereka. Mereka pun berhenti bertengkar,
saat melihatku semakin menjauh dari mereka. Dan dengan sigapnya
kepala desa berseru pada warganya

"Ikuti orang itu!" suasan menjadi ricuh kembali. Semua orang berlari
menuju kendaraan mereka masing-masing. Dan satu-persatu mesin mulai
hidup dan permainan kucing dan tikuspun dimulai.

Suara mesin menderu-deru, jalanan pun pekat akan debu. Semua yang
bermesin dan beroda, menegjar diriku. Sekuat tenaga mereka mencoba
kalahkan kecepatan angin, dan menyusuliku. Kota itu menjadi mati,
semua orang pergi mengejarku, Tua dan muda, laki-laki maupun
perempuan. Entah apa yang mereka mau dariku, mungkin hanya sekedar
ingin tahu, atau benar-benar mereka mengira aku malaikat ataupun
penyihir.

Puluhan mobil mengejarku dari segala jenis mobil yang ada.
Kebanyakan dari mereka adalah sedan, dari segala bentuk dan merek.
Namun ada juga truk pick-up yang penuh dengan penumpang. Ada juga
yang membawa truk besar mereka, masih dipenuhi dengan binatang
ternak dan sayur-mayur. Bahkan mobil polisi, ambulan, dan mobil
pemadam kebakaran pun mengejarku. Tapi tak sedikit pula yang
mengejarku dengan sepeda motor, dan kuda.

Angin dingin membawaku turun mendekati bumi, dan mobil-mobil itu
tampak jelas sekali. Dua orang pemuda sudah siap dengan laso mereka,
berdiri di atas pick-up terbuka. Mereka menunggu sampai aku benar-
benar dalam jangkauan, dan berharap angin membawaku ke padang luas
yang terbuka, tanpa halangan pohon-pohon rindang. Dan akhirnya
kesempatan itu tiba, angin berhembus ke arah padang rumput luas dan
aku bergerak turun dan turun lagi. Dan mereka pun menjeratku dengan
dua tali laso terbuat dari tambang yang kuat dan kasar, satu
menjerat leherku dan satu lagi pergelangan kakiku. Aku tercekik
lemas dan jatuh menghujam bumi.

Semua orang terheran-heran, saling menatap kebingungan. Aku tak lagi
terbang, aku hanya orang biasa kembali. Lalu aku pun sadarkan diri
dan kembali berdiri, berbicara layaknya seorang manusia, berjalan ke
arah mereka layaknya seorang manusia. Lalu sekelompok burng yang
sama lewat melintasi kami semua. Dan aku mengadahkan tanganku dan
melambai ke arah mereka. Aku bahagia karena aku bebas pergi
kemanapun aku suka. Aku tidak lagi menyerah pada angin, meski
pengalaman itu menyenangkan. Burung itupun pergi melintasiku, begitu
juga semua orang yang tadi menjeratku. Rupanya kekosongan hati
mereka menyebabkan mereka ringan dan melayang di udara. Dan angin
kembali berhembus dan menerbangkan mereka semua. Mereka seperti aku
dahulu, bedanya mereka sekarang menjadi tidak istimewa. Sedangkan
aku yang bisa berjalan menjadi sangat istimewa, dan sangat bahagia.

Dreams#3

Entah apalagi yang akan kutemui di mimpiku kali ini. Aku sedang
berjalan melintasi padang bebatuan yang luas dan gersang, sementara
matahari tinggi memanggang bumi, sementara angin kering mengkikis
perlahan bebatuan itu menjadi pecahan-pecahan halus yang sering
kusebut debu. Debu itu yang membuat udara yang kuhirup menjadi sesak
dan penuh, penuh akan kepedihan. Debu pasir dan kerikil menyerbu
sepatu yang membuat langkahku kian dan kian beratnya. Sementara bumi
di bawahku terkikis sampai halus. Begitu halus aku sempat mengira ia
tak lagi sudi menopang berat tubuhku. Sampai akhirnya tak
tertahankan olehku, kutanggalkan sepatu berat itu. Meninggalkan
telapak kaki ini menyatu dengan bumi yang terkikis halus dan
terpanggang matahari.

Lalu kubertemu seseorang yang tua renta. Ia sedang memegang sekop
besi berkilatan, menggali pasir dan kerikil. Menciptakan sebuah
liang yang cukup dalam dan lebar untuk jatuh terperangkap di
dalamnya tanpa jalan untuk keluar. Ia tak sedikitpun berkeringat,
udara kering kerontang membuat matahari seterik apapun takakan mampu
membuat satu tetespun air membasahi bajunya. Badan itu menyimpan
banyak kerutan, hanya terlapis oleh singlet putih yang kini tak
seberapa putih lagi, dan celana katun hitam legam. Terlihat olehku
pakaian lain yang ditanggalkannya. Sebuah kemeja putih licin dan
rapi, sebuah jas tuksedo hitam, dasi kupu-kupu, dan sepatu hitam
mengkilap lengkap dengan kaus kaki putihnya, serta sarung tangan
putih, ikat pinggang kulit, dan setangkai bunga mawar.

Ia terlihat amat lelah. Sesekali ia berhenti menghela nafas.
Bibirnya adalah tanda-tanda seseorang yang dehidrasi. Namun ia tak
peduli bilamana teriknya matahari dan udara kering telah mencuri air
di tubuhnya. Ia segera saja melanjutkan penggaliannya itu. Aku tak
dapat diam dan membiarkan keingintahuanku tak terpuaskan.

"Kenapa kau gali liang ini?" Tanyaku kepadanya.

"Aku ingin menanam diriku sendiri. Aku sudah tua dan seorang diri."

"Karena itukah kau menyiapkan pakaian terbaikmu untuk kau pakai
sampai akhir zaman?"

"Tentu, aku sudah hampir selesai. Sudah saatnya aku berganti
pakaian."

Ia memang sudah terlihat sedang menunggu ajal menjemput. Namun aku
masih penasaran siapa yang akan menutup liang itu rapat, bila
ajalnya sudah tiba. Sembari aku berpamitan aku berjanji dalam hati,
bahwa akulah yang akan melakukannya.

Aku kembali meneruskan perjalananku, walau aku tak tahu pasti kemana
arah dan tujuanku, ataupun apa yang menanti di akhir perjalananku.
Namun satu hal yang pasti, tak banyak yang dapat ku perbuat disini.

Kembali kulihat seseorang sedang sibuk menggali tanah berpasir ini.
Kali ini bukan seorang tua dan renta, dan tidak terlihat bahwa ia
sedang menunggu ajal. Ia tidak terlihat berpenyakitan, malah
terlihat bugar dan antusias. Aku berfikir pastilah ia menggali untuk
alasan yang lain.

Dan kulihat sebuah liang yang lebih dalam dari orang tua tadi. Ia
tidak terlihat letih sama sekali, walaupun setelah menggali liang
sedalam itu. Ia terlihat seperti seseorang yang terpelajar, di bibir
liang itu tergeletak buku-buku dan manuskrip-manuskrip, bertumpuk-
tumpuk jumlahnya. Serta lembaran-lembaran kosong yang menunggu untuk
diisi. Segera saja kupuaskan keingin tahuanku.

"Maaf tuan, kenapa kau gali liang ini?"

"Aku seorang sufi. Aku ingi menggali sampai ke inti bumi. Mungkin
disitulah dapat kutemukan arti dan inti dari hidup ini."

Beberapa pembicaraan terlontar dari mulut kami berdua. Bertukar
fikiran tentang hidup dan mati, dan juga mimpi. Sampai akhirnya kami
berjabat tangan dan berpisah. Namun sebelumnya aku buat ia berjanji
untuk memberi tahu kepadaku seketika ia menemukan arti kenapa kita
semua ada di sini.

Belum lagi jauh kuberjalan kutemui kembali seseorang yang sedang
menggali liang. Adalah seseorang yang setengah baya. Ia terlihat
tambun dan sangatlah kaya. Engkau dapat melihat dari betapa rapi
tersisirnya rambutnya dan betapa licin semir hitam itu menempel,
menyembunyikan rambutnya yang memutih. Atau dari betapa halus
kulitnya yang terawat dari kejamnya sang waktu. Atau arloji emas
yang melingkari pergelangan tangannya bahwa ia adalah orang yang
serba berkecukupan.

Tapi mengapa ia menggali liang ini? Mengapa ia tidak mengupah orang
saja untuk melakukannya?

"Maaf, pak! Mengapa engkau menggali liang ini?" Kataku dengan nada
yang sesopan mungkin.

"Oh, aku ingin mengubur masa laluku. Aku tak ingin orang-orang
mengetahui mereka."

Pantas saja ia bersusah payah menggali liang ini seorang diri. Ada
rahasia-rahasia yang tidak ingin diketahui orang lain. Lalu ia
membuka kepalanya dan mengeluarkan masa lalunya. Dikeluarkannya
korupsi, dikeluarkannya skandal seks, dikeluarkan pula orang-orang
yang pernah ia tindas dan kelabui, lalu dikeluarkan pula orang-orang
yang pernah jilat.

Aku tidak mau kalah. Ku keluarkan juga masa laluku, kenangan-
kenangan burukku, dan hal-hal yang membuat diriku menjauh dari apa
yang baik dan benar. Dan ku memohon agar ia mau mengubur mereka
dengan masa lalunya. Sebagai imbalannya ku juga mengubur semua
hasrat untuk membeberkan rahasia masa lalunya.

Ia pun setuju. Dan kami pun bersalaman, dan sebuah senyuman menyegel
perjanjian itu. Dan aku pun kembali melangkahkan kaki.

Dream #1

Di padang rumput yang luas kubertemu bocah itu. Kulihat di
sekelilingku abu-abu, tiada sedikitpun noda berwarna. Dan semuanya
seperti terbungkus dalam kesunyian yang membuat kepalaku seolah ingin
pecah karenanya. Dan semua gerakan seolah melambat, dua atau tiga
kali, bahkan kucuran air yang menetes di air terjun di sela-sela
lembah-lembah berbatu jatuh secara perlahan.

Tak ada makhluk lain yang bergerak kecuali kami berdua, bahkan angin
pun tiada berhembus membelai kulit kami. Di sana ia berdiri di bukit
kecil kami. Di sana ia berdiri di bukit kecil yang terkepung oleh
rerumputan tinggi. Aku mengejarnya sampai ke sana.
Dan entah kenapa aku mengejarnya, mungkin aku tertarik kepada
kesedihannya. Bocah itu kecil sekali, tingginya tak lebih dari rumput-
rumput itu. Aku mengejarnya sampai ke titik dimana aku kehilangan ia
sama sekali. Dan begitu ku sadari ia sudah berada di atas bukit kecil
itu, meratapi pohon besar yang berdiri layu di atas bukit itu.

Pohon itu adalah satu-satunya pohon yang kutemui di mimpi ini, dan ia
pun berdiri sebatang kara dan sekarat. Tak ada dedaunan yang sudi
lagi hinggap di disana sementara batang-batangnya mengering dan
menghitam. Ia sudah mulai meretak dan tinggal waktu sebelum ia hancur
berkeping. Pohon itu sudah seperti kaca tipis yang tidak akan kuat
menahan tenaga selembut sentuhan tangan seorang bocah.

Bocah itu mulai meneteskan air mata yang jatuh secara lambat menuju
tanah dan sebelum akhirnya bumi itu dihantamnya. Dan seketika air itu
menets semua yang hijau berubah menjadi hitam dan abu-abu yang
gersang, meninggalkan bukit hijau itu telanjang akan rerumputan
tinggi yang tadi menyulitkan gerak-gerik kami. Yang tinggal hanyalah
tanah yang tidak bermanfaat, kering, gersang, berwarna hitam dan abu-
abu. Tak ada rerumputan yang menemani kami, yang ada hanyalah aku,
bocah kecil, bukit gersang, langit abu-abu dan pohon serapuh kaca.

Pohon itu penuh jahitan, tambal, plester, staples, dam selotip.
Kulihat ia sudah sekeras tenaga berusaha menyelamatkan dan
menyembuhkan pohon itu, namun dengan cara-cara yang masuk akal bagi
bocah seusianya. Ia datang meratapi pohon itu sambil membawa lebih
banyak benang, jarum dan selotip. Aku coba menasihatinya, naumun
hanya kebisuan yang keluar dari mulutku. Dan ada tembok besar kasat
mata yang membuatku tak dapat menyentuh bocah itu.

Bocah itu terlalu sibuk menjahit menyatukan kembali pohon yang mulai
meretak itu Namun pohon itu tidak dapat terkeluarkan dari ajalnya
yang semakin pasti. Bocah itu kembali meneteskan air mata, dan air
mata yang menetes itulah yang membuat dunia sekitarnya semakin mati.
Air mata itulah yang membuat pohon itu enggan hidup kembali.
Menyadari hal itu bucah bukan malah berhenti, namun semakin deras air
mata itu menetes hujani bumi. Dan setiap tetesan air mata itu
mengkonsumsi diri bocah itu sendiri.

Dreams #2

Ada pemuda datang dengan gagahnya ke kota yang kecil di mimpi ini.
Ia membawa belati yang lebih panjang dari tangannya sendiri. Namun
tak hanya belati yang ia bawa, tetapi juga cita-cita yang sangat
tinggi. Dan seketika ia menginjakkan kakinya itu, semua orang di
mimpi ini berhenti dan menoleh ke arahnya. Dan walikota pun
mencegatnya bersama dengan beberapa orang pemuda kota yang kekar-
kekar.

"Hei, pemuda! Mau apa kemari kamu kemari membawa belati?"

"Aku ingin membunuh matahari, ia kian hari semakin menyengat,
mencuri air di laut dan di sungai."

Lalu semua orang tertawa terbahak-bahak, namun pemuda itu sudah tuli
akan kata-kata cemooh. Ia sudah tidak peduli, karena baginya
matahari adalah sosok yang jahat yang mencuri air di laut dan di
darat. Mataharilah yang menyebabkan semua ternaknya mati kehausan,
dan penyebab ia tidak mandi tiga minggu ini. Matahari dan panasnya
juga mencuri air-air di tubuhnya. Semua air itu keluar sebagai
keringat dan membuat pakaiannya basah kuyup, sebelum akhirnya
menjadi uap dan terbang ke udara, tempat matahari itu berada.

"Cuma karena itu engkau ingin membunuh matahari?"

"Tidak hanya itu, ia kian hari semakin terang, begitu terang ia
sudah membutakan orang tuaku. Bahkan aku tidak dapat keluar rumah
tanpa kacamata hitam."

Namun betapapun kerasnya orang-orang mencoba menghentikan kegilaan
itu, mereka tidak dapat mempupuskan cita-cita pemuda untuk membunuh
matahari. Mereka sudah mencoba dengan segala cara. Pertama mereka
mencoba dengan bujuk rayu dan kata-kata manis bahkan merayunya
dengan harta dan kedudukan, namun pemuda itu tidak sudi bahkan untuk
mendengarnya. Lalu mereka mencoba dengan debat, menghentikan ia
dengan jurus-jurus ilmu pengetahuan, logika, dan nalar namun nasib
yang sama mereka temui, pemuda itu hanya semakin mengacuhkan mereka.
Terakhir, setelah semua jalan telah ditempuh, mereka mencoba dengan
hardikan dan caci maki.

Mereka masing-masing mengambil kerikil dan melemparkannya ke tubuh
pemuda itu. Pemuda itu lari dari amukan warga kota dengan punggung
yang berdarah dan rasa nyeri yang tak mau pergi. Pemuda berlari
sampai ke batas kota dimana tidak ada lagi kerikil yang dapat
mengenai tubuhnya. Ia menoleh ke arah kota itu untuk sesaat, dan
kembali memusatkan perhatiannya ke benda yang paling dibencinya saat
ini, Matahari.

Pemuda berjalan langkah demi langkah mendekati tujuan, melintasi
gunung dan lembah ke ujung barat tempat matahari tertidur. Segenap
langkah yang tercipta matahari menyengat tubuhnya dengan panas yang
teramat sangat, dan hawa yang menjilati kulitnya hingga terpanggang
dan menghitam. Dan matahari juga membakar tanah yang ia pijak dengan
panas yang membara, sampai kaki-kaki itu melepuh dan memerah,
membuat setiap langkah yang ia tempuh menjadi langkah yang penuh
siksaan dan penderitaan.

Tak ada yang mendengar kabar dari pemuda itu lagi selama berhari-
hari dan berminggu-minggu. Hingga suatu malam pemuda itu kembali
dari ujung barat. Semua orang pun keluar dari rumahnya hanya sekedar
ingin tahu nasibnya, walaupun ada yang keluar untuk mendarat satu
atau dua buah pukulan ke arahnya. Namun apa yang dilihat mereka?
Mereka melihat seorang pemuda yang hitam kelam, terbakar oleh
jilatan matahari, dan buta akibat cahayanya yang menyilaukan. Dan
semua orang tanpa sedikitpun berbelas kasoh mulai mentertawakan
pemuda itu, sampai akhirnya seisi kota penuh dengan gelak tawa.

"Tertawalah! Tertawalah kalian! Kita lihat besok, siapa yang
tertawa."

Dan mereka pun menunggu sampai besok, hanya untuk membuktikan kata-
kata pemuda itu. Tetapi hari esok tidak pernah datang walau bulan
terbit dan tenggelam. Tidak ada lagi matahri yang menyinari,
pertanda dimulainya hari yang baru. Matahari sudah mati.

Friday, July 11, 2008

Saat Aku Terlelap

Purnama masih setia membelai setiap kujur tubuhku dan tubuhnya malamitu, saat kami masih terbaring terlelap di atas ranjang yang takseberapa empuk itu. Kain putih yang hangat adalah satu-satunya kainyang melapisi tubuh kami dari dinginnya malam. Aku terlelap, namunfikiranku tak kunjung berkelana ke alam mimpi. Angan ini begitusetia pada tempat ini, ranjang ini, dan tubuh yang terbaring disebelahku saat ini.

Tapi ia masih terjaga, ada sisa-sisa romansa yang membuatnya tidakkuasa untuk menutup mata. Ia tidak terlihat letih, walaupun sudahterkonsumsi separuh energi kami untuk bercinta. Tatapan itu seolahmembelai setiap jengkal tubuh ini, saat ia mengawasi setiap tetesancahaya purnama yang jatuh ke tubuhku. Lalu dipeluknya tubuh ini.Kulitnya menggantikan tugas mata yang sejenak tadi begitu seksamamembelai kulitku. Dan kini kulitnya begitu seksama membelai kulitku.

Dan tanpa kusadari seberkas air liur sudah menempel di punggungku.Air liur yang tak sengaja menempel saat bibirnya yang basahmenyentuh punggung ini. Aku pun masih terlelap, namun aku tiadabermimpi. Belaian seksama dan seberkas air liur yang membuat anganini tak mau beranjak kemana-mana.

Direbahkannya kepalanya kepundakku, benar-benar kepala itu menyerahpada gravitasi. Dan untuk sejenak terpejamlah kedua bola mata itu.Namun ia tidak tertidur, ia memang tiada niatan untuk tertidur,seberat apapun kedua kelopak mata itu membujuknya untuk menyudahimalam, atau sejenuh apapun otak itu pada dunia dan ingin segeramelangkah jauh dari segala hal yang nyata. Ia tidak tertidur, iahanya ingin merebahkan kepalanya sejenak ke pundak seseorang,alangkah beruntungnya orang itu, dan aku adalah orang yang beruntung.

Rambut itu halus bagaikan sutra, dan licin bagaikan permukaan air disaat angin tidak berhembus. Helai demi helai mencoba membungkussetiap lekukan pundak, leher dan lenganku saat ia merebahkankepalanya ke pundak ini. Setiap helai berusaha mengambil setidaknyasatu tempat di tubuhku ini. Kulitkupun mulai bereaksi denganmemberikan sensasi yang cukup hebat untuk membuat jantung iniberdebar sedikit lebih cepat. Dan lebih cepat lagi setiap hembusannafas yang begitu dekat. Aku tak pernah merasakan hembusan nafasorang lain sedekat dan selama ini. Hembusan nafas manusia lain yangmerebahkan kepalanya di pundakku menggelitik telinga dengansuaranya. Sedekat ini memang membuat suara terkecil pun terasabegitu besar. Darah mengalir begitu cepat sehingga membuat semuasyaraf sarat akan energi, dan membuat semua rangsangan terhadapindera apapun terkesan terlipat ganda.

Lama, tetapi tidak cukup lama, ia angkat kembali kepala itu. Beratkepala itu meninggalkan bekas di pundakku, daging itu terasa sedikitmenyengat oleh beban sebanyak itu, namun aku tidak mengomel. Iniskenario yang aku harapkan, berkali kali tubuh kami bertemu. Tubuhkami sudah semakin akrab, bahkan otak kamipun juga begitu. Iamerebahkan kepalanya lama, tetapi tidak cukup lama.

Tak lama separuh tubuh itu sudah terangkat, ditopang oleh tangankiri, saat tangan yang satunya lagi menutupi payudara dengan sau-satunya kain yang melindungi kami dari dinginnya malam. Dan akumasih terlelap, sedangkan ia tidak sedikitpun terlintas untukberbuat sama. Sebaliknya ia diam-diam dibuainya, dengan usapanlembut di rambut. Tangan itu melintas dengan hati-hati dari ubun-ubun sampai dahi tempat rambutku berhenti. Ia tidak ingin akuterjaga dari mimpi. Namun ia tidak sadari bahwa anganku masihdisini, dan aku tiada bermimpi. Berulang kali tangan itu mengusaprambutku, saat kedua matanya memanjakan tatapan dengan memuaskankeinginan untuk menelusuri tiap sudut wajahku, dan tiap helairambutku.

Lama ia menatapku dan memperhatikan bagaimana cahaya purnama menaridiatas kulitku, tetapi tidak cukup lama. Waktu selalu menjadi musuhsaat aku berbaring di sampingnya. Lalu diberinya aku sebuah kecupanhangat selamat malam di dahiku. Kembali detakan jantung yang sempatmelambat saat ia tak lagi bernafas di dekatku, memompa darah lebihcepat. Dan kembali bibir basah itu meninggalkan seberkas liur kepermukaan kulitku.

Ranjang itu bertingkah berbeda dari sebelumnya, saat ia hanyamenopang berat tubuh satu orang manusia. Tingkah laku ranjang inilahyang membuatku sadar bahwa ia tak lagi ada di sampingku. Reaksirefleks membuat kedua mata ini terbuka dan mengumpulkan sisa-sisakesadaran yang ada. Aku membalikkan tubuhku ke arahnya, dan terlihatsosoknya di bibir ranjang, sedang memungut satu-persatu potonganpakaiannya yang berserakan di lantai dekat ranjang itu.

Ia hanya sempat memakai celana dalam dan menutup aurat lainnyadengan pakaian yang didekapnya erat ke dada, saat ia menyadari bahwaaku sedang menatapnya saat ini. Ia memalingkan kepalanya saat keduakakinya mengambil dan memasang sepasang sepatu hak tinggi yang iamiliki. Dan ia tersenyum kecil ke arahku mesra saat kakinya masihkasak-kusuk memasang sepatu itu.

Segera aku mencoba untuk bangun dari terbaringnya diriku, namunsecepat itu pula ia mencoba menghentikanku. Namun aku sudahterlanjur terduduk di ranjang itu. Dan ia pun mulai tersenyum lebihlebar dari sebelumnya dan lalu ia pun berkata.

"Jangan! Gak usah! Yang ini gratis kok."

May 15, 2004

Saat Aku Terlelap

Purnama masih setia membelai setiap kujur tubuhku dan tubuhnya malamitu, saat kami masih terbaring terlelap di atas ranjang yang takseberapa empuk itu. Kain putih yang hangat adalah satu-satunya kainyang melapisi tubuh kami dari dinginnya malam. Aku terlelap, namunfikiranku tak kunjung berkelana ke alam mimpi. Angan ini begitusetia pada tempat ini, ranjang ini, dan tubuh yang terbaring disebelahku saat ini.

Tapi ia masih terjaga, ada sisa-sisa romansa yang membuatnya tidakkuasa untuk menutup mata. Ia tidak terlihat letih, walaupun sudahterkonsumsi separuh energi kami untuk bercinta. Tatapan itu seolahmembelai setiap jengkal tubuh ini, saat ia mengawasi setiap tetesancahaya purnama yang jatuh ke tubuhku. Lalu dipeluknya tubuh ini.Kulitnya menggantikan tugas mata yang sejenak tadi begitu seksamamembelai kulitku. Dan kini kulitnya begitu seksama membelai kulitku.

Dan tanpa kusadari seberkas air liur sudah menempel di punggungku.Air liur yang tak sengaja menempel saat bibirnya yang basahmenyentuh punggung ini. Aku pun masih terlelap, namun aku tiadabermimpi. Belaian seksama dan seberkas air liur yang membuat anganini tak mau beranjak kemana-mana.

Direbahkannya kepalanya kepundakku, benar-benar kepala itu menyerahpada gravitasi. Dan untuk sejenak terpejamlah kedua bola mata itu.Namun ia tidak tertidur, ia memang tiada niatan untuk tertidur,seberat apapun kedua kelopak mata itu membujuknya untuk menyudahimalam, atau sejenuh apapun otak itu pada dunia dan ingin segeramelangkah jauh dari segala hal yang nyata. Ia tidak tertidur, iahanya ingin merebahkan kepalanya sejenak ke pundak seseorang,alangkah beruntungnya orang itu, dan aku adalah orang yang beruntung.

Rambut itu halus bagaikan sutra, dan licin bagaikan permukaan air disaat angin tidak berhembus. Helai demi helai mencoba membungkussetiap lekukan pundak, leher dan lenganku saat ia merebahkankepalanya ke pundak ini. Setiap helai berusaha mengambil setidaknyasatu tempat di tubuhku ini. Kulitkupun mulai bereaksi denganmemberikan sensasi yang cukup hebat untuk membuat jantung iniberdebar sedikit lebih cepat. Dan lebih cepat lagi setiap hembusannafas yang begitu dekat. Aku tak pernah merasakan hembusan nafasorang lain sedekat dan selama ini. Hembusan nafas manusia lain yangmerebahkan kepalanya di pundakku menggelitik telinga dengansuaranya. Sedekat ini memang membuat suara terkecil pun terasabegitu besar. Darah mengalir begitu cepat sehingga membuat semuasyaraf sarat akan energi, dan membuat semua rangsangan terhadapindera apapun terkesan terlipat ganda.

Lama, tetapi tidak cukup lama, ia angkat kembali kepala itu. Beratkepala itu meninggalkan bekas di pundakku, daging itu terasa sedikitmenyengat oleh beban sebanyak itu, namun aku tidak mengomel. Iniskenario yang aku harapkan, berkali kali tubuh kami bertemu. Tubuhkami sudah semakin akrab, bahkan otak kamipun juga begitu. Iamerebahkan kepalanya lama, tetapi tidak cukup lama.

Tak lama separuh tubuh itu sudah terangkat, ditopang oleh tangankiri, saat tangan yang satunya lagi menutupi payudara dengan sau-satunya kain yang melindungi kami dari dinginnya malam. Dan akumasih terlelap, sedangkan ia tidak sedikitpun terlintas untukberbuat sama. Sebaliknya ia diam-diam dibuainya, dengan usapanlembut di rambut. Tangan itu melintas dengan hati-hati dari ubun-ubun sampai dahi tempat rambutku berhenti. Ia tidak ingin akuterjaga dari mimpi. Namun ia tidak sadari bahwa anganku masihdisini, dan aku tiada bermimpi. Berulang kali tangan itu mengusaprambutku, saat kedua matanya memanjakan tatapan dengan memuaskankeinginan untuk menelusuri tiap sudut wajahku, dan tiap helairambutku.

Lama ia menatapku dan memperhatikan bagaimana cahaya purnama menaridiatas kulitku, tetapi tidak cukup lama. Waktu selalu menjadi musuhsaat aku berbaring di sampingnya. Lalu diberinya aku sebuah kecupanhangat selamat malam di dahiku. Kembali detakan jantung yang sempatmelambat saat ia tak lagi bernafas di dekatku, memompa darah lebihcepat. Dan kembali bibir basah itu meninggalkan seberkas liur kepermukaan kulitku.

Ranjang itu bertingkah berbeda dari sebelumnya, saat ia hanyamenopang berat tubuh satu orang manusia. Tingkah laku ranjang inilahyang membuatku sadar bahwa ia tak lagi ada di sampingku. Reaksirefleks membuat kedua mata ini terbuka dan mengumpulkan sisa-sisakesadaran yang ada. Aku membalikkan tubuhku ke arahnya, dan terlihatsosoknya di bibir ranjang, sedang memungut satu-persatu potonganpakaiannya yang berserakan di lantai dekat ranjang itu.

Ia hanya sempat memakai celana dalam dan menutup aurat lainnyadengan pakaian yang didekapnya erat ke dada, saat ia menyadari bahwaaku sedang menatapnya saat ini. Ia memalingkan kepalanya saat keduakakinya mengambil dan memasang sepasang sepatu hak tinggi yang iamiliki. Dan ia tersenyum kecil ke arahku mesra saat kakinya masihkasak-kusuk memasang sepatu itu.

Segera aku mencoba untuk bangun dari terbaringnya diriku, namunsecepat itu pula ia mencoba menghentikanku. Namun aku sudahterlanjur terduduk di ranjang itu. Dan ia pun mulai tersenyum lebihlebar dari sebelumnya dan lalu ia pun berkata.

"Jangan! Gak usah! Yang ini gratis kok."

May 15, 2004